Aku Tak Kan Berhenti Percaya
“Ibu,
aku ingin bisa lanjut kuliah”, dengan hati-hati aku mengutarakan keinginanku
pada ibuku.
“Sebenarnya ibu juga ingin melihat
kamu kuliah nak, tapi bapak ibumu ini sudah tak sanggup lagi membiayai
kuliahmu, apalagi lima adikmu juga masih butuh biaya sekolah”, ibu menjawab
dengan pelan.
Bapak yang baru pulang dari pasar
pun langsung ikut menyaut, “Sudahlah Den, kamu ikut kerja di perusahaannya
bapak temenmu itu, siapa ya Bapak lupa namanya?”
“Oh, Farhan Pak”, jawabku.
“Iya, si Farhan, cobalah kamu
setelah dapat ijazah langsung daftar kesana, kan sudah kenal, kemungkinan
diterimanya banyak”, kata Bapak.
Aku terdiam, tak berani menjawab.
Sejak lama aku memang ingin bisa lanjut kuliah di UGM. Bisa hijrah ke Yogyakarta
kota pendidikan. Aku selalu berpikir bahwa setelah aku kuliah di UGM nantinya
aku bisa kerja di perusahaan besar di ibukota sana. Bisa mendapat gaji besar, bisa
membantu adik-adikku sekolah juga. Namun apadaya, orangtuaku memang tak lagi
mampu membiayai kuliahku. Bapak punya toko tas di pasar, namun penghasilan
jualan tas masih belum cukup untuk menghidupi kami sekeluarga. Ibuku sebenarnya
ikut membantu mencari uang dengan menjadi tukang cuci baju keliling di
rumah-rumah tetangga, namun hasilnya juga tak seberapa. Padahal aku dan kelima
adikku sekarang masih sekolah semua.
Minder dan sedih seringkali
menyergap. Melihat teman-temanku di kelas
satu persatu sudah mendaftar ujian masuk di universitas pilihan. Rasanya
semakin sedih dikala teman-temanku yang sama-sama ingin masuk UGM mengajakku
belajar bersama, bahkan ada juga yang memintaku untuk menjadi gurunya, karena
mereka merasa lebih paham jika dijelaskan olehku.
“Dena, kamu jadi daftar UM UGM kan?”,
tanya Rahma teman baikku. “Empat hari lagi pendaftarannya ditutup lhoo, ayo
sana gih cepetan daftar”, lanjut Rahma.
“Aku nggak jadi daftar Ma”, kataku
lesu.
“Wee, masa temenku yang otaknya
kayak otak Einstein ini nggak jadi daftar siiih”, Rahma keheranan.
“Iya Ma, sama Bapak di suruh kerja
aja sama bapaknya Farhan”, aku berusaha menjelaskan alasanku.
“Aaah, nggak seru dong Den, kan kita
mau ngekos bareng, berangkat kuliah bareng dan yang terpenting siapa lagi dong
yang ngajarin aku kalau bingung sama tugas yang seabreg, biasanya kan ada kamu
yang bantuin aku”, Rahma masih membujukku.
“Gimana lagi Ma, Bapak Ibuku sudah
angkat tangan, mereka sudah tak sanggup lagi biaya kuliahku, adik-adikku juga
masih butuh banyak dana buat sekolah” kataku.
“Hyaaa, sebenarnya kalau aku jadi
kamu sayang banget rasanya nggak ngelanjutin kuliah”, kata Rahma.
“Hehehe,, kalau aku disuruh milih
juga lebih milih kuliah daripada kerja, rasanya masih pengen belajar ini itu
banyak sekali, tapi aku harus realistis. Lagian kalaupun aku nggak lanjut
kuliah, masih ada kamu yang bisa transfer ilmu dari bangku kuliahan, iya kan,
iya kan?” kataku.
“Oke deh kalau begitu, yang penting
kamu ajarin aku belajar buat UM UGM yaa, tak gratisin makan siang tiap hari deh”,
kata Rahma.
“Siaap Boss!”, aku pun setuju.
***
UM UGM tinggal 1 minggu lagi. Rahma
masih memintaku mengajarinya buat persiapan UM UGM. Kali ini malahan nggak cuma
Rahma, temanku yang lain, Icha, Rena, Akbar, dan Tidar ikut bergabung. Walaupun
aku nggak ikut ujian tapi rasanya seperti mau ujian, deg-degan setiap hari. Namun
yang terpenting sekarang aku nggak minder lagi dengan teman-temanku, aku tak
kan berhenti percaya bahwa Tuhan akan selalu memberi jalan yang terbaik
untukku. Ada kesenangan dan kebanggaan tersendiri bisa ikut belajar dengan
mereka. Rasanya bahagia bila ikut berkontribusi atas kesuksesan teman-temanku.
Menurutku itu cukup.
***
“Dena, nanti waktu jam istirahat
datang ke ruangan BK ya, ada yang mau ibu bicarakan” , kata bu Tania guru BK
ku.
“Baik Bu, kalau boleh tahu mau membicarakan
tentang apa ya Bu?” tanyaku bingung.
“Sudah, nanti datang saja ke ruang
BK”, kata bu Tania lagi.
Dalam hati kecilku bertanya-tanya,
ada apakah gerangan. Sepertinya aku nggak melanggar aturan-aturan sekolah.
Bulan ini aku memang belum membayar biaya sekolah, tapi kan masih 3 hari lagi
batas pembayarannya. Sepanjang pelajaran Matematika aku merasa tidak tenang,
gundah, gelisah. Jam 9 terasa lama sekali, padahal biasanya kalau pelajaran
Matematika jam 9 datang begitu cepat.
Teeeet, teeet, teeet, bel berbunyi.
Fiuuh~ rasanya lega sekali. Akhirnya jam 9 datang juga. Tanpa babibu aku
langsung menuju ke ruang BK.
Tok, Tok, Tok,,
“Assalamu’alaikum”, aku mengucapkan
salam di depan pintu ruang BK.
“Wa’alaikumsalam, mari masuk Dena”,
bu Tania menjawab dari dalam ruangannya.
“Iya Bu”, jawabku.
“Silakan duduk”, bu Tania menyuruhku
duduk.
“Iya, terimakasih Bu”, aku pun
duduk.
"Begini Dena, Ibu memintamu ke ruang
BK karena ada berita baik yang ingin ibu sampaikan kepadamu”, bu Tania memulai
pembicaraan.
“Berita baik apa ya Bu?”, tanyaku
bingung.
“Emmm,, tapi kamu jangan kaget ya”,
kata bu Tania.
“Iya Bu, Insya Allah”, kataku.
“Kamu berhasil masuk UGM Dena,
selamat yaa!!”, bu Tania berkata sambil menjabat tanganku.
“Haa~ UGM Bu? Saya kan nggak daftar
apa-apa, lagian ujian masuk UGM kan masih 4 hari lagi”, aku kaget.
“Tuh kan, kamu langsung kaget gitu,
sampai muka kamu merah kayak tomat, hehehe”, bu Tania malah bercanda.
“Ah, ibu bercandaan nih sama saya”,
kataku.
“Iya, beneran kok kamu masuk UGM”,
kata bu Tania.
“Kok bisa Bu, saya kan nggak daftar”,
aku masih bingung.
“Jadi begini, Ibu memang diam-diam
mendaftarkan kamu ikut jalur masuk tanpa tes, yang cuma pakai nilai rapormu,
Ibu mendaftarkan kamu di Elektronika dan Instrumentasi karena ibu tahu kamu
suka ngutak ngatik elektronika”, bu Tania berusaha menjelaskan kepadaku.
“Wah, saya nggak tahu lagi harus
ngomong apa Bu, rasanya berita ini luar biasa sekali” kataku.
“Namun, bagaimana saya bisa membiaya
kuliah saya Bu, orang tua saya sudah tak mampu lagi”, lanjutku.
“Tenang, Ibu juga mendaftarkan kamu
beasiswa, dan alhamdulillah kamu diterima, semua biaya kuliah, kos, buku,
ditanggung oleh pemberi beasiswa, uang jajan tiap bulannya kamu juga dikasih,
jadi kamu tinggal belajar yang rajin ya Den, Ibu yakin kamu bisa”, kata bu
Tania.
“Alhamdulillah, ini berita luar
biasa, bapak ibu adik-adik di rumah pasti bahagia bila mendengar berita ini,
terimakasih ya Bu”, aku pun langsung memeluk bu Tania.
“Iya Den, kamu baik-baik ya di
Jogja, belajar yang rajin, biar setelah lulus kuliah kamu bisa membantu orang
tua dan adik-adikmu”, kata bu Tania.
“Insya Allah Bu, sekali lagi terimakasih
Bu, semoga Allah memberikan imbalan yang banyak buat Ibu”, kataku.
“Iyaa, ya sudah sekarang kamu
kembali ke kelas ya” kata bu Tania.
“Baik Bu, saya pamit ke kelas”, aku
pun pamit.
Aku keluar ruang BK dengan rasa yang
entah tak bisa digambarkan lagi, rasanya senang luar biasa. Rasanya seperti ada
kembang api yang meletup-letup dari dalam tubuhku. Aku percaya di dalam hidupku
ada mimpi yang Tuhan ijinkan terjadi.
Dan impianku masuk UGM adalah salah satu yang diijinkan terjadi oleh Tuhan.
manis airmata pengorbananku takkan pernah membuatku berhenti percaya
Ini mimpiku, yang tak pernah berhenti ...
Tulisan di atas terinspirasi dari Claudia Sinaga - Ini Mimpiku
Komentar